Senin, 18 Januari 2010

Poboya: Potret Buram Pengelolaan Sumber Daya

Palu, PILAR.

Pertambangan poboya adalah cerminan ekspansi kapitalisasi sektor sumber daya alam melalui keterikatan Negara. Dalam kerjasama ekonomi berupa kontrak karya luas konsesi yang terdiri dari enam blok terpisah itu disebut–sebut merupakan cadangan potensial secara ekonomis dengan total cadangan 2 juta ons.

Kepemilikan kuasa di tangan PT. Citra Palu Mineral sebagai pemegang kontrak karya, ada perusahaan dari perusahaan trans nasional Corperation, PT. Bumi Resources dengan komposisi kepemilikan saham 99,9 % dalam laporan kepemilikan saham tanggal 31 Desember 2007 PT.Bumi di picu reaksi atas aktivitas penambangan emas yang di lakukan oleh masyarakat poboya dengan menggunakan mesin tromol.

Banyak kalangan menilai bahwa aktivitas itu tidak terkontrol dan terorganisir dengan baik sehingga di khawatirkan akan mencemari lingkungan hidup. Pilihan saat itu adalah tambang poboya di tertibkan sampai ada resolusi yang menjawabnya.

Respon cepat dari pihak pemerintah kota Palu adalah dengan mengeluarkan kebijakan penertiban penambang tromol. Kebijakan yang di keluarkan tersebut berupa penertiban atas aktivitas tromol dengan sasaran utama para penambang yang nota bene adalah masyarakat asli poboya, dengan di Bantu tenaga teknis dan modal pembangunan tromol dari sejumlah cukong asal sulut dan gorontalo.

Namun ternyata kebijakan itu tidak mampu menjawab apa yang menjadi masalah dasar tingkatan masyarakat poboya. Sebaliknya mengancam alternative utama pekerjaan masyarakat yang menggantikan pekerjaan mereka sebelumnya.

Bisa di bayangkan, ketika PT.Bumi Resources masuk maka ancaman penghilangan sumber masyarakat poboya bisa benar terjadi. Kebijakan pengelolaan dan penguasaan negara untuk kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.

Kenyataannya, UU No 11 Tentang pokok pertambangan Tahun 1967 dan kemudian di gantikan dengan UU No 4 Tahun 2009, Tentang mineral dan batubara menunjukan hal yang kepentingan bilateral antar Negara melalui sejumlah bentuk kerjasama bantuan hibah hutang maupun investasi bebas.

Pintu Liberalisasi pun di mulai sejak zaman itu di tandai dengan hadirnya kontrak karya generasi pertama. Kedua, yang juga ikut melemahkan posisi Negara menentukan kedaulatannya adalah hadirnya world trade organisation (WTO), Sebuah lembaga tempat berhimpunnya perusahaan trans nasional Corperation.

Kebijakan WTO merupakan aplikasi dari sejumlah aplikasi dari sejumlah kesepakatan antar Negara atau lebih banyak disebut sebagai pandangan neoliberalisme. Di mana setiap Negara di dorong untuk menyapakati liberalisasi dalam bentuk melepaskan pajak ekspor impor dalam kategori mineral, dan privatisasi sector sumber daya alam secara luas.

Hubungan di luar negeri sereng kali di jabarkan dalam bentuk kerjasama-bilateral antara dua Negara, baik dalam lapangan politik maupun dalam lapangan ekonomi.

Sejak fase ordebaru Indonesia mulai memperkenalkan paham paham kapitalisme dalam sejumlah icon kebijakan maupun slogan slogannya seperti pembagunan. Indonesia sendiri merupakan Negara yang terhitung masih mudah dalam keterikatan terhadap pandangan kapitalisme. Keadaan tidak di pahami pemerintah Republik Indanesia secara utuh dan terintegritasi dalam keputusan yang bersipat politis.

Hal itu terbukti dengan lahirnya modernisasi yang berasal dari barat sehinga akan cenderung kearah westernisasi. Ini memiliki tekenan yang kuat dalam kebudayaan Indonesia, meskupun unsur unsur tertentu dalam kebudayaan asli politik di sinilah awal ketergantungan di ciptakan. Dimana semangat kapitalis sangat dominan dalam menentukan ciri dan mode pengelolaan sumber daya alam.

Jika Negara bertanggungjawab pada kesejahtraan rakyat dengan menerapkan pasal 33 UUD 45, maka Venezuela bisa menjadi gambaran istimewa kebijakan pengambilalihan kekayaan alam dari kuasa pemilik modal trans nasional. Indonesia bisa mengambil arah kebijakan ini melalui sejumlah pendekatan seperti divestasi, penijauan dan nasiolisasi bagi untung atas hasil kekayaan alam.

Untuk niat ini, sesunguhnya memang di butuhkan pawer politik dan dukungan secara politik yang kuat dari rakyat Indonesia sebagimana yang telah di lakukan di Venezuela dan Iran. Itu di buktikan dari usaha usaha sejumlah Negara yang ingin bernegosiasi atas pembagian hasil kekayan alam yang selama ini hasilnya tidak di rasakan oleh Negara dan rakyatnya seperti Venezuela dan Iran.

Penting mengingat saat ini penguasaan sumber-sumber bahan baku menjadi agenda pokok di beberapa Negara industrialisasi besar, selain pada perluasan modal uang pada sektor industri strategis seperti pertambangan. Untuk itu, Negara harus melihat ini sebagai sebuah pijakan posisi yang populis untuk menempatkan sumber daya alam negri sebagai poin menuju kesejahtraan, dengan jalan penguasaan agar tidak terjebak kepentingan akumulasi yang konvergen dari pemilik modal trans nasional. Sehingga cita-cita mensejahterakan rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam bisa terwujud. Tidak hanya slogan semata (rdw).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar