Sabtu, 12 Desember 2009

Seni Tradisional Ludruk


Seni Tradisional Ludruk

Ludruk… Adalah Hiburan rakyat. Kesenian yang muncul dari rakyat, tidak dilahirkan oleh kaum veodal. Tetapi Ludruk belum diketahui secara pasti lahir pada jaman apa, tahun berapa, siapa penciptanya dan apa tujuannya.

Seni tradisional Ludruk… Menurut sejarahnya sudah sering kali mengalami evolusi. Muncul pertama kali, atau sekitar abad XII, dinamakan Ludruk “ Bhandan “, yang memiliki ciri, cerita yang dibawa selalu memamerkan ilmu kekebalan.

Hilangnya Ludruk Bhandan muncul lagi yang dinamakan Ludruk “ Lerok “. Atau sekitar abad XVI. Kata Lerok berasal dari “ Lyra “ atau salah satu alat musik yang seperti “ Dempung “ atau “ Siter “ Dan cerita-cerita yang dibawa atau dipertunjukkan adalah ilmu Gendam atau Ilmu Sulap. Ciri lain pada Ludrug Lerok, setiap kali pentas, sebelumnya harus mempersiapkan barang-barang dagangan yang ada dalam pasar. Baru setelah pentas, salah satu dari pemeran Ludrug, naik ke panggung, yang kemudian masuk dalam “ Kerobong “ atau sejenis kurungan berukuran besar yang ditutupi kain putih, Sementara diluar “ Kerobong “, pemeran lain membakar kemenyan madu. Hingga asapnya memenuhi panggung pentas. Sesaat kemudian, dari dalam “ Kerobong “ keluarlah binatang-binatang kecil.

Hilangnya Ludrug Bhandan dan Ludrug Lerok, muncul lagi, sekitar tahun 1911, yang dinamakan Ludrug “ Besutan “. Dinamakan demikian karena pemeran utamanya dinamakan “ Besut “. Lakon yang dibawa, menceritakan perjalanan Kakang Besut yang sedang mencari istrinya Asmonah. Cerita tersebut sifatnya cerita Novell dan terkesan monoton.

Namun perlu diketahui… Dalam Ludrug Besutan, yang berperan sebagai Besut harus orang yang linuwih dalam hal ilmu kebatinan dan falsafah.

Ludrug Besutan, hingga tahun 1931, akhirnya berubah menjadi Ludrug yang dinamakan “ Stambul Djawi “, tetapi umurnya hanya satu tahun, hingga munculnya Ludrug yang dipandegani oleh Cak Gondho Durasim. Namun begitu tidak berarti ciri dari Ludrug Bhandan dan Ludrug Lerok hilang. Tari Remong dan Kidungan dagelan masih tetap dilestarikan.

Gondho Durasim sendiri adalah orang Surabaya yang sejak tahun 1930 bersahabat erat dengan Dr. Soetomo. Beliau adalah para patriot. Hanya bedanya, Cak Gondho Durasim lebih menitik beratkan perjuangannya, menanamkan jiwa Nasionalisme pada Masyarakat melalui panggung Ludrug. Dr. Soetomo dan Gondho Durasim bahkan berencana mendirikan Gedung Nasional Indonesia untuk pementasan permanent seniman-seniman Ludrug.

Sampai akhirnya Jepang menguasai Indonesia, seni Ludrug masih saja lestari, meskipun sebenarnya sering mendapat tekanan dari Politik Jepang.

Hingga pada suatu hari, saat rombongan Ludrug Cak Gondho Durasim mengadakan pentas, seperti biasa Durasim berperan sebagai dagelan. Dan entah disengaja atau tidak beliau melahirkan kidungan yang berbunyi : Pagupon Omahe Doro, Sak Jege Ono’ Nippon Uripku Soro.

Jepang … Menganggap kidungan Cak Gondho Durasim menghina pemerintahannya. Dan saat itu juga, pementasan Ludrug rombongan Durasim dibubarkan oleh Nippon yang kemudian beliau disuruh menhadap Kepala Kempeitai, untuk dimintai keterangan terkait dengan kidungannya. Cak Godho Durasim mengelak jika kidungan itu sebagai penghinaan terhadap pemerintahan Jepang. Dan beliau tetap bersikukuh, bahwa itu hanya “ Lelucon seorang dagelan “ Tetapi akhirnya oleh Nippon, Ludrug Cak Durasim dilarang aktief dan dibekukan.

Ada yang menagatakan, saat Cak Gondho Durasim dipanggil untuk menghadap Kepala Kenpaitai beliau sempat di pukuli, dihajar hingga sakit dikemudian hari dan akhirnya meninggal dunia.

Nah … Dengan adanya hal yang seperti itu, sebenarnya betapa tersiksanya hati Cak Gondho Durasim berikut teman-temannya. Ludrug tempat beliau mengabdikan diri pada budaya harus dibubarkan. Dan padahal sumber penghidupan mereka sehari-hari untuk menyambung hidup juga dari bermain Ludrug. Dan yang lebih disayangkan lagi keturut sertaannya dalam berjuang membela Negara juga pupus. Setiap saat Cak Gondho hanya bisa menghela nafas panjang. Dan lama kelamaan nafasnya kian sesak, yang akhirnya meninggal pada 8 Agustus 1944.

Seni Tradisional Ludrug … Menginjak jaman Revolusi mulai tumbuh dan kembali berkembang, meskipun terkadang mereka harus manggung dengan cara sembunyi-sembunyi. Sampai akhirnya pada tahun 1965 Ludrug kembali mengalami krisis bahkan nyaris mati, akibat terhempas gelombang Politik G 30 S PKI yang memunculkan larangan, bahwa perkumpulan-perkumpulan Ludruk atau perkumpulan seni lain dilarang mengadakan kegiatan di masyarakat.

Seni tradisional Ludrug, keberadaannya sebenarnya memang tidak boleh dicampur adukkan dengan urusan Politik atau apapun. Ludrug punya jalan hidup sendiri, punya nafas sendiri, karena ia muncul dari masyarakat. Dengan demikian Ludrug tidak boleh dibunuh dan tidak boleh mati.

Tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang, meskipun kini Ludrug – total tidak ada yang menghalang-halangi, kenapa kini Ludrug seperti kehabisan nafas dan sama sekali tak ada “Gamelan Ludrug“ yang di talu.

Instansi yang terkait, Pelaku, minimnya minat masyarakat atau semuanya sudah tidak merasa memiliki Ludrug (piyoen ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar